ADA suara yang menggangguku pada sebuah subuh
gerimis, di bulan Januari. Suara azan dari mushala itu membuatku terjaga
dengan tidak biasa. Bola mataku kaku menatap langit-langit kamar yang
tampak samar-samar karena hanya disinari lampu tidur berwatt rendah.
Telingaku kupasang baik-baik mendengarkan alunan azan merdu, yang
kunikmati dengan hati tidak menentu, antara percaya dan nyata, sebab
tidak biasa. Seumur hidup baru kali ini aku mendengar azan serupa itu….
“Mas dengar azan barusan?” Aku menengok ke arah suamiku yang sedang menggeliatkan tubuhnya, di sampingku.
“Kedengarannya seperti suara perempuan,” katanya dengan suara bangun tidurnya yang serak.
“Baru kali ini, lho, aku mendengar perempuan azan. Rasanya gimana gitu,” ungkapku dengan perasaan kurang nyaman.
“Suaranya lumayan merdu,” komentar Mas.
“Suara milik siapa, ya, Mas.” Diterpa rasa penasaran aku bergegas
menuju jendela, membuka tirainya. Dari situ aku bisa melihat langsung ke
mushala, yang hanya dibatasi halaman dan jalan kecil. Di sana tampak
seorang perempuan sedang melakukan shalat sunah. Perempuan itu
membelakangi kami. Aku yakin, dialah yang barusan melantunkan azan,
sebab hanya dia yang ada di mushala itu. Tapi siapa?
Aku berupaya mengingat-ingat, siapa tahu aku mengenal suara itu, tapi
nihil. Bukankah suara di depan pengeras suara tidak kerap berbeda.
Suara di depannya kadang terdengar lebih merdu. Namun, mengapa perempuan
itu melakukan azan? Pasti ia punya alasan.
“Ke mana Solihin?”
Pertanyaan Mas mengusikku untuk segera berwudu dan pergi ke mushala.
Mas pun tampaknya berpikiran serupa. Kami merasa ada sesuatu yang tak
beres di pagi subuh gerimis itu. Lainnya, ini hari Sabtu, kami tidak
diburu waktu untuk pergi kerja.
Terus terang saja, meski mushala persis di samping rumah, aku dan Mas
tak pernah shalat subuh berjamaah di sana. Sepagi ini biasanya kami
sibuk bersiap-siap pergi kerja. Kami tak ingin terjebak macet, yang
sering kali membuyarkan mood baik. Aku dan Mas tiba di rumah kembali ketika listrik mushala sudah padam.
Oh, ya, Solihin itu adalah marbot mushala yang setiap waktu shalat
melantunkan azan. Suaranya sangat kami kenal, kendati tidak merdu, tapi
tegas dan fasih. Sejak Solihin jadi marbot, 6 bulan lalu, aku dan Mas
tak lagi memasang alarm untuk membangunkan kami di pagi hari.
Mushala hasil swadaya yang kami beri nama Wardah itu, dibangun tanpa
pintu dan jendela. Ruangannya bisa muat 100 jamaah. Di kanan-kiri
mushala, ada teras yang kami tanami pepohonan kerdil berdaun rimbun
sebagai peneduh. Angin yang bebas keluar masuk, mengipasi jamaah di kala
udara panas.
Kamar untuk Solihin merangkap kantor, dan perpustakaan mini ada di
bagian depan. Selain azan, pekerjaannya adalah menjaga kebersihan
mushala. Sehabis magrib hingga isya, ia mengajar anak-anak mengaji.
Selain itu, Solihin juga jadi tempat bertanya anak-anak tentang
pelajaran agama.
Sebelumnya warga tak terpikir mengangkat Solihin sebagai marbot,
kendati semua orang mengenalnya. Sehari-hari ia bekerja membantu warga
yang membutuhkan tenaganya memotong rumput, membersihkan selokan, bahkan
mengubur kucing mati. Kami menyenangi pria lajang yang pekerjaannya
rapi, bertutur kata baik, dan bicara seperlunya ini.
“Dia itu lulusan Madrasah Aliyah. Ngajinya begini. Azannya fasih,”
begitu Mak’ke mempromosikan Solihin jadi marbot sambil mengacungkan
kedua jempolnya.
Beberapa kali Mak’ke melihat dan mendengar Solihin memperdengarkan
azan di mushala. Katanya, ia juga pernah jadi makmum di belakang Solihin
bersama dengan pedagang baso, tukang tahu gejrot, dan tukang roti yang
saat lewat bersamaan dengan waktu shalat.
“Dia nanti yang ngurus mushala sekalian ngajari anak-anak
ngaji. Mushala jadi ramai. Mubazir mushala tidak digunakan,” kata Mak’ke
satu hari Ahad ketika kami berpapasan saat jalan-jalan pagi.
Mushala yang susah payah kami bangun itu memang mulai tak terurus.
Awalnya saja, di akhir pekan, kami sering kumpul merencanakan kegiatan
seperti membuka Taman Pendidikan Alquran, Taman Balita, dan
perpustakaan. Awalnya saja mushala dipenuhi jamaah shalat. Namun,
setelah bulan berbilang mushala kian sepi. Warga sibuk dengan pekerjaan
masing-masing.
Namun, aku ragu membawa usulan Mak’ke ke rapat RT. Bu Lastri, istri Pak RT pernah dibuat tidak happy oleh
Mak’ke. Pada Ahad, saat kami sarapan bubur ayam dekat lapangan futsal,
Mak’ke berkata begini pada Bu Lastri, “Bukan mau ikut campur urusan
orang, ya, tapi mata suami pasti sepet melihat istrinya yang
cantik memakai daster lusuh. Nanti kalau dia melirik cewek lain, yang
lebih segar, baru ngomel-ngomel,” kata Mak’ke, yang sudah lama menjanda,
dan setiap hari selalu rapi berkain kebaya.
Bu Lastri, yang bekerja di sebuah LSM perempuan, tertegun diam
mendengar teguran itu. Setelah Mak’ke pergi, baru ia melontarkan
kedongkolannya, “Aku yakin Mak’ke tak bakal menegur bapak-bapak
sarungan, berpenampilan serampangan, yang dengan santainya nonton futsal
di lapangan itu.”
Entah karena dasternya kemudian sobek atau karena teguran Mak’ke, aku
tak pernah lagi melihat Bu Lastri memakai daster lusuh itu jika jajan
bubur atau berbelanja. Ia kini lebih suka memakai celana training dan kaus oblong.
Pak Drajat, pengusaha konveksi, pernah juga kena sentil Mak’ke
gara-gara ia penasaran ingin punya anak laki-laki. Keempat anaknya yang
lahir secara beruntun adalah perempuan. Dan, saat itu, istrinya sedang
hamil anak kelima, yang dari hasil USG, diketahui berjenis kelamin
perempuan.
“Dulu laki-laki dan perempuan dianggap beda. Perempuan tak perlu
sekolah tinggi karena dianggap tempat yang pantas untuk mereka adalah
dapur. Sekarang, sih, sama saja. Laki-laki ada yang pintar,
banyak juga yang bodoh dan malas. Perempuan ada yang jadi insinyur,
dokter, tapi banyak yang jadi TKW. Tergantung kau mendidiknya.
Berhentilah punya anak. Kau anggap istrimu pabrik anak, apa?”
Aku juga pernah kena sindir Mak’ke gara-gara tak pernah jamaah di masjid. Katanya, “Kok, bisa ya, rumah samping mushala, tapi tak tergerak untuk shalat berjamaah.”
Meski tersinggung karena pilihan katanya yang pedas, kami tak berani
menanggapi Mak’ke. Mungkin karena Mak’ke adalah perempuan paling tua, 66
tahun di tempat kami. Dia dan suaminya, yang meninggal 5 tahun lalu,
adalah penghuni awal perumahan ini.
Selain itu, Mak’ke juga banyak jasanya terhadap lingkungan. Dialah
yang mencium kawanan pengedar yang menyewa rumah di lingkungan kami,
yang sepi dan jauh dari jalan raya. Mak’ke pernah menangkap basah baby sitter yang membiarkan bayi asuhnya mengenyot jempol kakinya, sementara ia duduk di sofa nonton infotainment di televisi. Dia pula yang galak meminta anak-anak dan remaja untuk belajar kala ulangan jika kasyikan main di taman.
Dua sifat yang berseberangan itu membuat kami benci, tapi butuh
Mak’ke. Waktu Mak’ke dirawat di rumah sakit karena demam berdarah, yang
menengok harus rela antre. Anak-anak, remaja, orang tua, guru senam,
tukang pijat, satpam, dan tukang ojek terlihat dalam antrean. Mengingat
sepak terjang Mak’ke selama ini, aku curiga perempuan yang barusan azan
itu adalah Mak’ke.
“Ayo kita buktikan saja, Mak’ke atau bukan,” kata Mas seraya meng ajakku bergegas ke mushala.
Setiba di mushala, aku tak kaget lagi ketika tahu perempuan yang barusan melantunkan azan adalah Mak’ke.
“Suara Mak’ke, oke, kan,” Ia nyengir memamerkan dua giginya yang tanggal.
“Luar biasa. Saya tak mengira Mak’ke memiliki suara semerdu itu,” ujar Mas.
Dan, subuh itu mushala dipenuhi jamaah. Semua mengaku terperangah
saat mendengar suara perempuan azan. Apalagi ketika mereka tahu Mak’ke
lah yang melantunkannya.
Seusai shalat subuh, Mas Iman, seorang insinyur perminyakan, yang
bekerja di perusahaan multinasional, menyampaikan keberatan jika Mak’ke
melantuntan azan lagi. “Saya khawatir perempuan azan akan menimbulkan
kontroversi,” katanya.
“Perempuan azan memang tidak biasa,” sahut Mas.
“Jangan-jangan secara hukum perempuan memang dilarang azan,” kata Mas Yahya, pemilik penyewaan mobil.
“Dilarang azan kenapa? Azan adalah panggilan yang menyerukan telah
memasuki waktu shalat. Menurutku, sama saja dengan seruan berbuat
kebaikan yang bisa dilakukan oleh pria, perempuan, orang tua, bahkan
anak-anak,” tutur Bu Lastri.
Kami terdiam. Tak seorang pun di antara kami yang bisa menjawab, apa
hukumnya perempuan azan? Mengapa selama ini perempuan tidak azan?
Maklum, pengetahuan agama kami terbatas.
“Ke mana Solihin? Kita tanya Solihin, pasti dia tahu hukumnya,” aku
coba memecah kediaman. Selain juga, aku tak melihat Solihin jadi imam
atau ada di antara jamaah subuh.
Mak’ke yang menjawab. “Semalam ibunya masuk rumah sakit, terkena stroke. Dia nginap di rumah sakit ….”
“Lalu, dia menyuruh Mak’ke azan?” tanya Mas Yahya.
Mak’ke menggelengkan kepalanya keras-keras. “Mak’ke azan karena tak
ada orang lain di mushala ini. Kalau ada Solihin atau salah satu dari
bapak-bapak di sini, ngapain Mak’ke azan ….”
Mendengar itu kami saling pandang dan diam.
“Tentukan saja oleh warga siapa yang akan azan saat Solihin tak ada.”
Mak’ke memandangi kami satu satu per satu. “Kalau tidak ada yang
sempat, Mak’ke tak keberatan azan subuh, zuhur, asar, magrib … lima
waktu setiap hari!”
“Waktu zuhur nanti biar aku yang azan,” keputusan Bu Lastri membuat kami tersentak.
“Saya juga tak keberatan azan asar,” sahutku yang disambut Mas dengan dahi berlipat.
Sementara kami membahas soal siapa yang bertugas untuk azan, Mak’ke
permisi meninggalkan mushala, hendak pergi jalan-jalan pagi. (*)
2 Responses to "Cerpen Republika | " Subuh Mak'ke ""
Silahkan Tinggalkan komentar anda, jika ada kesalahan pada artikel yang saya posting, atau ada link mati, gambar hilang, dan jika ada saran untuk kemajuan blog ini, silahkan tulis komentar dibawah ini.... Komentar kalian sangat berarti bagi saya...
Format untuk komentar:
1. Pilih profil sebagai Name/URL
2. Isikan nama anda
3. Isikan URL (Blog/Website/Facebook/Twitter/Email/Kosongin)
4. Isikan komentar
5. Poskan komentar
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
S1288POKER Memberikan Promo Double Freechip
BalasHapusBagi Kalian semua yang ingin bergabung dan masih banyak Promo menarik lainnya
Minimal Deposit Rp.10.000,- & Wihtdraw Rp.20.000,-
Info Lebih Lanjut Bisa Hub kami Di :
BBM : 7AC8D76B
WA : 087782869981
BOLAVITA BAGI-BAGI EMAS
BalasHapusTaruhan Online Dapet Emas? Kapan Lagi ~ Hanya di Bolavita ...
Halo Bossku,
Saat ini bolavita sedang mengadakan event bagi-bagi emas. ya benar boss anda tidak salah baca.
bagi-bagi emas bosku.
Boss Juga Bisa Kirim Via :
Wechat : Bolavita
WA : +6281377055002
Line : cs_bolavita
BBM PIN : BOLAVITA ( Huruf Semua )