Nama saya Idrus Uzumaki, panggilan saya Idrus. Kadang teman-teman dekat memanggil saya Idrus Lebay. Julukan itu dinobatkan atas sikap saya yang cepat tersentuh hatinya dan suka nangis kalau nonton film. Apalagi kalau film korea, pasti nangis. hehe..!! Peace ...
Saya putra yang lahir di Buba’a 9 januari 1990, kec. Paguyaman Pantai Kabupaten Boalemo. Namun, karena orang tua saya pindah ke Tilamuta, biodata kelahiran saya pun ikut dirubah dalam kartu keluarga. Sempat bingung saat itu, ketika ditanya kelahiran mana, saya tak tahu harus jawab apa. Kalau pun saya mengaku anak yang lahir di Tilamuta, sesuai data kependudukan saya bisa terterima. Tetapi, saya tidak bisa terterima secara fakta. Orang tetap saja melabeli saya anak yang lahir di Buba’a. Namun, hal itu tidak jadi soal bagi saya. Hal yang terpenting adalah, saya diakui oleh negara sebagai anak Indonesia. Kan intinya kan begitu, iya kan?
Saya adalah anak kedua dari enam bersaudara. Sebenarnya delapan. Tetapi dua adik saya meninggal dalam kandungan sebelum lahir. Saudara perempuan saya tiga orang dan laki-lagi dua orang. Ya lengkap setengah lusin lah.
Saya adalah sosok pribadi yang sosialis. Suka mau berbagi dengan –orang yang miskin dan terpingirkan. Mungkin karena saya juga merupakan bagian dari mereka. Dalam hati saya, mereka adalah sahabat terbaik di kehidupan. Dari kisah perjalanan mereka, saya belajar banyak hal tentang hidup seperti cinta, pengorbanan, dan keikhlasan. Bahkan ada mahasiswa yang sempat heran melihat kedekatan saya dengan ibu-ibu cleaning service kampus. Mereka menganggap saya aneh. "Ngapain juga dekat-dekat cleaning service. Emang sudah ngak punya teman?" imbuh mereka. Dan masih banyak lagi tanggapan miring mereka. Suatu ketika , saya hendak mau ujian pratik mengajar tingkat satu. Sebelum ujian, saya pamitan dan mencium tangan mereka layaknya orang tua saya. Benar itu yang saya lakukan. Saya menjadikan mereka bukan sebagai cleaning service kampus tapi sebagai pengganti orang tua. Karena itu, tak jarang pula mereka membawakan saya kue dari rumah untuk bisa saya makan di siang setelah istirahat kuliah. Ah sungguh nikmat bersama mereka, berbagi, saling ikhlas dan meluapkan kasih sayang layaknya keluarga.
Nah, selanjutnya masalah pendidikan. Sekolah pertama saya adalah Madrasah Ibtidaiyah Buba’a pada tahun 1996. Sebuah sekolah yang merupakan yayasan di pedalaman daerah tertinggal, yang saya sendiri sampai sekarang tidak mengetahui persis siapa pemilik yayasan itu. Setelah saya telusuri, katanya pemilik sudah meninggal. Dan nama beliu tidak diketahui. Guru-guru yang mengajar di sekolah itu pun tidak tahu lagi siapa yang memimpin yayasan. Meski pun yayasan ini sudah diambil alih oleh kementrian Agama kabupaten, tetap saja sekolah itu tidak berubah status menjadi sekolah negeri. Tetap pada namanya yang utuh, “Madrasah Ibtidaiyah Assabirin Buba’a”. Atau orang desa menyebutnya, sekolahnya orang sabar.
Sayangnya, saya tidak bisa menyelesaikan pendidikan di Madrasah itu. Kedua orang tua saya memindahkan saya ke SDN Pentadu Barat Tilamuta tahun 2001. Setelah saya tanyakan alasannya, dulu ibu saya khawatir saya tidak bisa bahasa Indonesia. Kerena memang Madrasah tempat saya belajar itu berada di daerah terpencil dan tertinggal. Kadang gurunya hanya satu dan itu pun biasanya mengajar pakai bahasa daerah. Pengantar pendidikan berbahasa daerah. Mengajarkan matematika pun saya diajarkan pakai bahasa daerah Gorontalo. Bagaimana, unik kan? Kalau ditanya, sebenarnya saya mencintai madrasah itu. Tapi, karena kehendak orang tua, saya tak mampu menolak.
Pada tahun 2004, saya menyelesaikan studi di SDN Pentadu Barat. Saya akhirnya dibujuk orang tua untuk ikut merantau ke Suawesi Tengah tepatnya di Ampibabo, Kecamatan Parigi Moutong. Saya di sekolahkan di SMP Ampibabo. Malamg memang, tidak lama kemudian usaha orang tua bangkrut dan akhirnya gulung tikar. Kedua orang tau saya putuskan untuk kembali ke kampung halaman Buba’a. Kecuali saya masih tetap bertahan demi melanjutkan pendidikan. Olehnya itu, mereka menitipkan saya ke paman, adik pertama ayah yang masih tetap bertahan mengais riski di sini, Sulawesi Tengah.
Beberapa bulan kemudian, musibah terjadi pada paman saya. Tubuhnya terbakar akibat percikan minyak dari sebuah gelon. Saya akhirnya berhenti sekolah dan merawat paman yang sakit. Ternyata, tanpa dikabari, orang tua saya segera datang. Sesuai penjelasan ayah, katanya ibu sering menangis karena tak bisa menahan rindu berjauhan dengan saya. Diperkuat lagi, dalam tidur sang ibu, ia melihat saya sering memanggilnya untuk meminta pulang ke Gorontalo.
Dua hari kemudian, ayah menyelesaikan berkas pindah sekolah. Ayah hendak menyekolahkan saya di Sekolah Menengah Pertama (SMP) 1 Negeri Tilamuta (2005). Ternyata perpindahan itu adalah pertanda buruk. Saya malah putus sekolah dan memilih jadi nelayan. Karena, sejak kembali dari Sulteng, ayah tetap belum bisa memperbaiki ekonomi keluarga. Kadang mereka kelaparan dan membujuk adik saya untuk tidur, agar lapar bisa terlupakan. Hal ini membuat saya luluh. Saya putuskan untuk berhenti sekolah dan menemani ayah melaut untuk mencari nafkah.
Setelah jadi nelayan, Ayah mengajari saya cara bagaimana hidup menjadi seorang nelayan. Semua tentang laut diajarkan. Kelak dia berharap, ilmu itu bisa menghidupi saya. Sebab, ia sadar pendidikan saya tidak bisa berlanjut lagi. Melaut adalah pilihan terakhir kala itu.
Hampir setahun, saya menjadi pelaut hebat. Semua didikan ayah tentang perihal nelayan, habis saya pelajari. Bahkan saat itu, saya sudah bisa membeli baju dan hal lainnya dengan uang hasil keringat sendiri. Di sisi lain, saya bahagia bisa membantu orang tua juga.
Saya adalah orang selalu belajar meski pun tidak di bangku sekolah. Sepulang dari melaut, saya sering mengurung diri ke kamar untuk belajar. Sampai suatu hari, kebiasaan itu ketahuan ayah. Karena tak tega melihat semangat saya untuk belajar, ayah kemudian menyekolahkan saya lagi. Alhamdulillah, niatan ayah disambut baik pihak sekolah. saya menerima Full schoolarship sampai tamat di Madrasah Tsanawiyah. Sejak itu, ayah mulai melepaskan saya untuk menelusuri jejak hidup saya sendiri. Saya memilih pisah dan berjuang untuk menggapai mimpi. Saat yang sama, ayah kembali ke Buba’a untuk berkebun. Mereka membawa semua saudara saya.
Tiga tahun tak terasa, saya akhirnya menyelesaikan studi di Madrasah Tsanawiyah Negeri Tilamuta pada tahun 2007. Saya kemudian melanjutkan pendidikan ke Madrasah Aliyah Negeri Tilamuta tahun itu. Lagi-lagi tuhan menjawab do’a saya. Saya mendapatkan beasiswa gratis selama dua tahun atas prestasi saya dua periode menjadi ketua OSIS. Atas keputusan kepala Madrasah, saya dibebaskan dari SPP. Sampai akhirnya, di tahun 2010 saya menyelesaiakan studi.
Selanjutnya, saya mendaftarakan diri ke Universitas Negeri Gorontalo. Saya diterima di jurusan bahasa Inggris Fakultas sastra dan Budaya. Nasib baik masih menyelimuti saya. Berkas permohonan beasiswa yang saya masukkan tembus dan saya bisa kuliah sebagai penerima Full Schoolarship putra Bidik Misi tahun 2010. Saya kuliah tanpa meminta kiriman orang tua lagi. Beasiswa yang saya terima sebesar 6 juta/semester. Selebihnya, saya sisipkan untuk dikirim ke orang tua.
Sampai saat ini, saya masih menjalani pendidikan di universitas Negeri Gorontalo dan telah masuk ke semester 7. Sedikit lagi mau wisuda. Semoga saja sisa perjuangan ini mendapat barokah. Doakan ya ! Allahumma Amin...
0 Response to "Idrus Uzumaki"
Posting Komentar
Silahkan Tinggalkan komentar anda, jika ada kesalahan pada artikel yang saya posting, atau ada link mati, gambar hilang, dan jika ada saran untuk kemajuan blog ini, silahkan tulis komentar dibawah ini.... Komentar kalian sangat berarti bagi saya...
Format untuk komentar:
1. Pilih profil sebagai Name/URL
2. Isikan nama anda
3. Isikan URL (Blog/Website/Facebook/Twitter/Email/Kosongin)
4. Isikan komentar
5. Poskan komentar