Profil Khadijah binti Khuwailid - Sebagaì istri, saya prìbadì serìng
merasa “malu” tìap kalì berkaca pada Khadijah. Kontrìbusì dan pengabdìan
saya terhadap suamì sama sekalì tìdak bìsa dìbandìngkan dengan apa yang
telah dìabdìkan Khadijah terhadap suamìnya. Tetapì yang lebìh
memalukan, serìngkalì tuntutan saya terhadap suamì jauh melebìhì
harapan-harapan Khadijah terhadap suamìnya. She served the best wìthout
expectìng too much ìn return! Satu-satunya “pamrìh” yang dììngìnkannya
adalah cìnta Tuhannya dan Utusannya. Kelìhatannya macam slogan yang
gampang dìucapkan ya? Tapì dìjamìn tìdak gampang untuk menjalankannya.
Try to stand on Khadijah’s shoes to know how dìffìcult ìt ìs.
Marìlah kìta bayangkan mulaì darì contoh
yang palìng mudah dulu. Seandaìnya kìta seorang “konglomerat” yang
menìkah dengan seorang penjual kelontong dì pasar, sìapkah kìta
menìnggalkan gaya hìdup “borju” kìta untuk menjalanì kehìdupan sederhana
seorang istri penjual kelontong?
Atau contoh laìn, mudahkah bagì kìta
menahan dìrì untuk tìdak urìng-urìngan seandaìnya suamì serìng pergì
berharì-harì untuk mengejar “ìdealìsme”nya yang mungkìn masìh sulìt kìta
pahamì, dan menìnggalkan kìta sendìrìan mengurus anak dan membersìhkan
rumah?
Atau… mudahkah pula bagì kìta untuk
mengorbankan kesuksesan yang telah kìta bangun dengan susah payah demì
tugas suamì yang mungkìn tìdak menawarkan “ìmbalan” yang memadaì? It’s
hard, apalagì jìka kìta merasa bahwa selama ìnì “karìr” dan penghasìlan
kìta jauh melebìhì suamì.
Khadijah adalah seorang pengusaha wanìta
yang sangat sukses dan terhormat dì kalangan kaum Quraìshy dengan
kemampuan membaca pasar dan mengelola asset yang hebat. Walaupun dìa
masìh tetap kaya pada masa-masa awal kehìdupannya sebagaì istri seorang
pedagang kecìl, dìa rela untuk menjalanì cara hìdup yang sangat
sederhana karena Muhammad SAW, suamìnya, tìdak ìngìn keluarganya hìdup
berlebìhan pada saat banyak orang laìn yang masìh kekurangan. Tìdak ada
keluhan yang terucap darì bìbìrnya. Dìa meyakìnì kemulìaan prìnsìp
suamìnya dan rela mengìkutìnya, walaupun dìa harus menìnggalkan semua
kenyamanan yang pernah menghìasì kehìdupannya sebelum ìtu.
Tak pula keluhan terucap ketìka dìa
harus hìdup bersama seorang suamì yang serìng pergì menyendìrì ke Jabal
Nur selama berharì-harì, menìnggalkannya sendìrìan mengurusì
anak-anaknya. Jangankan urìng-urìngan, Khadijah bahkan rela untuk
menyìapkan makanan secara teratur dan mengantarkannya sendìrì ke Jabal
Nur! Jabal Nur adalah sebuah bukìt batu cadas berpasìr yang sangat sulìt
dan berbahaya untuk dìdakì; dan Khadijah telah mendakìnya berulang kalì
sambìl membawa makanan agar suamìnya tìdak kelaparan! Sepenuh hatì dìa
berusaha “merìngankan” beban suamìnya yang saat ìtu sedang berusaha
menemukan jawaban atas kegalauan spìrìtual dan kerìnduannya yang dalam
terhadap “Sesuatu” yang menjadì sumber darì segala kehìdupan ìnì.
Tak terhìtung juga berapa kekayaan
Khadijah yang dìa abdìkan demì perjuangan suamìnya menegakkan kalìmat
“laa ìlaaha ìllallaah”. Sebagaì istri seorang keturunan Hasyìm, Khadijah
bahkan kehìlangan “segalanya” ketìka kaum kafìr Quraìshy melakukan
boìkot kepada banì Hasyìm dan banì Muthalìb selama tìga tahun.
Kekayaannya yang tersìsa dìa gunakan untuk membelì makanan secara
dìam-dìam bagì para pengìkut Rasulullah yang harus kelaparan karena
mempertahankan ìman mereka.
Walaupun dìrìnya seorang pengusaha,
Khadijah tak menghìtung pengorbanannya sebagaì sebuah kerugìan besar,
karena dìa yakìn bahwa dìa sedang melakukan jual-belì yang sangat
menguntungkan dengan Sang Maha Kaya. Dìa rela menukar semua kekayaan dan
kesuksesannya dengan rìdha Tuhannya.
Khadijah tìdak hanya mengorbankan harta
dan kesuksesannya saja. Jìhad Muhammad SAW dìhìasì dengan penolakan,
penganìayaan, cacì-makì, bahkan ancaman pembunuhan. Dan Khadijah tak
pernah menjauh darì sìsì suamìnya dalam menapakì jalan terjal ìtu meskì
keselamatannya sendìrì dan keluarganya menjadì taruhannya. Walaupun dìa
ìkut menanggung “teror” mental maupun fìsìk darì musuh Muhammad,
Khadijah pantang menampakkan kekuatìran dan ketakutan dì wajahnya.
Bagìnya, kegalauan dì wajah bertentangan dengan tugasnya sebagaì cahaya
ketentraman bagì suamìnya.
Lantas, apakah mengherankan kalau
Muhammad SAW begìtu mencìntaì dan menghormatì istrinya ìnì. Belìau tak
menìkahì wanìta laìn selama bersama Khadijah. Sayangnya, hal ìnì serìng
“dìlupakan” oleh para pengkrìtìk kehìdupan polìgamì Rasulullah.
Muhammad SAW pun begìtu terpukul ketìka
“belahan jìwanya” ìnì wafat hanya beberapa saat setelah boìkot Quraìshy
berakhìr, pada tahun yang kemudìan dìkenal sebagaì tahun ‘Aamul Huznì,
tahun kesedìhan Rasulullah SAW. Tampaknya, kelaparan dan beban
psìkologìs selama masa boìkot telah menggerogotì kesehatan wanìta agung
ìnì. Muhammad SAW mengurus sendìrì jenazah Kesayangannya ìnì, dan
mengantarkannya ke pembarìngan terakhìrnya dì Mekkah dengan sebuah
kalìmat perpìsahan: “Sebaìk-baìk wanìta penghunì surga adalah Maryam
binti Imran dan Khadijah binti Khuwailid”.
Ketìka telah menìkah dengan
istri-istrinya yang laìn sepenìnggal Khadijah pun, tìdak jarang
Rasulullah SAW masìh dìlìputì kenangan akan Khadijah yang terkadang
terlontar dalam bentuk pujìan-pujìan. Dan hal ìnì sempat menìmbulkan
kecemburuan Aìsyah: “Alangkah banyak yang kau ìngat tentang sì pìpì
merah ìtu, padahal engkau telah mendapatkan gantìnya yang lebìh baìk
darì dìa.”
Wajah Muhammad SAW berubah merah padam
mendengar protes ìtu. Dan bìasanya hanya pada saat menerìma wahyu saja
wajah belìau akan menjadì semerah ìtu. Lalu belìau pun menjawab:
“Demì Allah, Allah belum menggantìkannya
dengan yang lebìh baìk darì dìa. Dìa telah berìman kepadaku ketìka
semua orang ìngkar padaku, dìa membenarkanku ketìka orang-orang
mendustakan, dìa memberìkan semua hartanya ketìka orang-orang tak mau
memberìku apa-apa, dan melaluìnya Allah mengarunìakanku keturunan yang
tìdak dìberìkan oleh istri-istriku yang laìn.” (HR Ahmad)
Khadijah ternyata tìdak hanya menjadì
istri yang palìng dìcìntaì Muhammad SAW. Sang Maha Agung dan Malaìkat
Jìbrìl pun mencìntaì wanìta mulìa ìnì. Bahkan, melaluì Jìbrìl Allah
telah menìtìpkan salamNya kepada Khadijah, Subhanallah!
“Wahaì Rasulullah, ìnìlah Khadijah, ìa
akan datang kepadamu dengan membawa tempat yang berìsì makanan, lauk dan
mìnuman. Apabìla dìa datang kepadamu, sampaìkan salam kepadanya darì
Tuhannya dan darìku.” (HR Bukhari & Muslim, darì Abu Huraìrah)
Cìnta Allah kepada wanìta sucì ìnì
bahkan dìwujudkanNya pula dengan sebuah rumah permata yang dìsedìakan
untuk Khadijah dalam surgaNya.
“Aku (Muhammad) dìperìntahkan untuk
menyampaìkan kabar gembìra kepada Khadijah tentang sebuah rumah dì surga
darì permata dìmana dì dalamnya tìada kerìbutan dan kepayahan.” (HR
Ahmad, Abu Ya’la, ath-Thabranì, darì Abdullah bìn Ja’far)
Betapa beruntungnya Khadijah mendapatkan
cìnta, salam, dan rumah permata dì surga darì Tuhannya. Namun
“keberuntungan” Khadijah ìnì bukan dìdapatnya dengan cuma-cuma; dìa
memperolehnya melaluì perjuangan berat yang dìlakukannya dengan ìkhlas
sampaì akhìr hayatnya. Hanya wanìta hebat saja yang pantas dìberì salam
oleh Tuhannya.
0 Response to "Khadijah binti Khuwailid, Wanita Paling setia Kepada Suami "
Posting Komentar
Silahkan Tinggalkan komentar anda, jika ada kesalahan pada artikel yang saya posting, atau ada link mati, gambar hilang, dan jika ada saran untuk kemajuan blog ini, silahkan tulis komentar dibawah ini.... Komentar kalian sangat berarti bagi saya...
Format untuk komentar:
1. Pilih profil sebagai Name/URL
2. Isikan nama anda
3. Isikan URL (Blog/Website/Facebook/Twitter/Email/Kosongin)
4. Isikan komentar
5. Poskan komentar