Tawazun dalam Dakwah Islam - Karakteristik dakwah berikutnya adalah bahwa seruan yang dibawakan  
haruslah tawazun; makna dari tawazun itu sendiri sebenarnya kurang lebih
  adalah bagaimana seorang aktifis dakwah menyeru dan membina manusia  
untuk memenuhi aspek-aspek kebutuhannya secara seimbang. Akan tetapi  
jika dipandang dari sudut yang lain tawazun juga dapat bermakna  
menyeimbangkan diri dalam pemenuhan kebutuhan akhirat tanpa meninggalkan
  dunia.
Apa sajakah sebenarnya kebutuhan manusia itu ? Ada yang membaginya  
dalam dua term yaitu jasmani dan rohani. Kebutuhan jasmani terkait  
dengan kebendaan yang dapat ditangkap oleh panca indera, dan sering  
disebut sebagai lahiriyah. Sedangkan kebutuhan rohani adalah kebutuhan  
untuk memenuhi hal-hal yang sifatnya ma’nawiah, seperti kebahagiaan,  
ketenteraman, kasenangan, kepuasan batin dll.
Akan tetapi dalam bahasan kita ini akan membagi kebutuhan manusia ini
  ke dalam 3 kelompok dimana yang disebutkan dengan kebutuhan batiniah  
masih dibagi menjadi dua yaitu kebutuhan akal dan ruh. Pembagian ini  
hanya di gunakan untuk memudahkan kita membuat pengertian yang lebih  
baik, karena pada dasarnya akal dan ruh memang agak berbeda.
Manusia dengan ruhnya akan dapat menggunakan apa yang disebutnya  
sebagai ‘rasa’. Rasa sayang, belas kasih, dll. Rasa adalah nikmat  
terbesar yang diberikan oleh Allah SWT. Dengan rasa manusia dapat  
memahami tentang Ketuhanan, dengan rasa manusia bisa membangun  
komunikasi yang lebih baik antar sesama dll. Rasa tidaklah banyak  
mmememtingkan untung rugi, karena rasa berorientasi pada kepuasan batin 
 seseorang. Untuk memupuk sensitifitas Ruh, maka manusia memerlukan apa 
 yang disebut sebagai dzikir. Dzikir dalam Islam berarti mengingat 
Allah.  Dengan dzikir maka manusia akan mempunyai ketajaman perasaan. 
Maka  dalam Al Qur’an seringkali muncul ungkapan yatazdakkaruun 
[berdzikir]
‘Hai orang-orang yang beriman, berzdikirlah [dengan menyebut nama] Allah, zikir yang sebanyak-banyaknya.[33:41]‘
‘Apabila kamu telah menyelesaikan ibadah hajimu, maka berdzikirlah  
dengan menyebut Allah, sebagaimana kamu menyebut-nyebut  
[membangga-banggakan] nenek moyangmu [126], atau [bahkan] berdzikirlah  
lebih banyak dari itu. Maka di antara manusia ada orang yang bendo’a:  
‘Ya Tuhan kami, berilah kami [kebaikan] di dunia’, dan tiadalah baginya 
 bahagian [yang menyenangkan] di akhirat. [2:200]‘
Dengan akalnya manusia akan dapat menimbang-nimbang, apakan sesuatu  
itu mashlahat atau mudzarat, menguntungkan atau tidak, dan dengan  
akalnya pula manusia dapat mempertahankan kehidupannya, dapat membuat  
cara baru dalam melakukan sesuatu dll. Akal manusia dapat menemukan  
temuan baru yang berguna dalam kehidupannya. Akan tetapi akal yang tidak
  dipandu oleh ruh yang baik tentu terkadang hanya mau untungnya 
sendiri. 
Akal juga dapat di gunakan sebagai sarana menggapai hidayah. 
kalau kita  memperhatikan penciptaan langit dan bumi, mau mengamati 
ciptaan Allah  secara mendalam tentu manusia dapat menemukan Tuhannya. 
Manusia yang  dapat pula memperoleh kesimpulan dari perenungannya 
terhadap alam ini  jika ia memang bersungguh-sungguh.
‘Dan Dia-lah Tuhan yang membentangkan bumi dan menjadikan  
gunung-gunung dan sungai-sungai padanya. Dan menjadikan padanya semua  
buah-buahan berpasang-pasangan [765], Allah menutupkan malam kepada  
siang. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda  
[kebesaran Allah] bagi kaum yang memikirkan.[13:3]‘
‘Dan di bumi ini terdapat bagian-bagian yang berdampingan, dan  
kebun-kebun anggur, tanaman-tanaman dan pohon korma yang bercabang dan  
yang tidak bercabang, disirami dengan air yang sama. Kami melebihkan  
sebahagian tanam-tanaman itu atas sebahagian yang lain tentang rasanya. 
 Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda [kebesaran  
Allah] bagi kaum yang berfikir. [13:4]‘
Ketiga adalah raga. Manusia disamping harus mengoptimalkan jiwanya  
juga harus mengasah Raganya. kata Rasul bahwa muslim yang kuat lebih  
disukai daripada muslim yang lemah. Bahkan Rasul juga menganjurkan  
anak-anak untuk dilatih memanah dan berenang. Ini menandakan bahwa  
persoalan raga/fisik memperoleh perhatian serius dalam Islam. Demikian  
halnya dengan persoalan makanan, allah memerintahkan kita agar makan  
denagn makannan yang halalan thoyyibah, makanan yang halal dan bergizi, 
 agar kita dapat beraktifitas denagn baik.
Oleh sebab itu ketiga aspek tersebut haruslah selalu dipupuk. Dan  
inilah tugas para da’i dalam menyampaiakn risalah Islam yang agung ini. 
 Kita dapat memupuk jiwa dengan ibadah ritual, shalat, puasa, dzikir.  
Kita dapat mengasah fikiran untuk memikirkan hal-hal yang baik, dan  
kitapun dapat melatih fisik dengan memberi makanan yang halal dan  
thayyib serta melatihnya dengan berolah raga yang cukup.
Jika tawazun di pandang dari segi yang lain, maka seruan dakwah juga 
 harus berorientasi terhadap bagaimana seseorang akan mampu membagi  
pemenuhan kebutuhan dunia dan akhiratnya secara seimbang. Seorang da’i  
haruslah menuntun ummat agar dapat memenuhi kedua aspek tersebut secara 
 seimbang, memenuhi kebutuhan akhirat tanpa meninggalkan dunia.
Nabi pernah mengatakan bahwa carilah dunia ini seakan engkau akan  
hidup selamanya, dan carilah akhirat ini seakan engkau akan mati esok.  
Artinya dunia dan akhirat keduanya harus dicari secara sungguh-sungguh.
‘Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu  
[kebahagiaan] negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu  
dari [keni'matan] duniawi dan berbuat baiklah [kepada orang lain]  
sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu  
berbuat kerusakan di [muka] bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai  
orang-orang yang berbuat kerusakan.[28:77]
Rosululloh menyontohkan untuk senantiasa berdoa kepada Alloh agar 
diberikan ketawazunan dan keistiqomahan dalam berislam dan memenuhi 
ketiga unsur tersebut, yaitu Ya muqollibal quluub tsabbit quluubana ‘ala
 dakwarik,Ya mushorrifal quluub shorrid quluubana ‘ala thoo’atik…

Subhanallah, inspiratif tulisannya. Dakwah kita memang harus selalu disempurnakan.
BalasHapus