Review Film Ketika Tuhan Jatuh Cinta- Saya lega ketika keluar dari bioskop setelah menyaksikan Ketika Tuhan Jatuh Cinta
di sebuah biskop di kota Depok. Tadinya saya khawatir film religi ini
nyinyir berdakwah (seperti sejumlah sinetron di televisi dan beberaap
film religi di layar lebar), tokoh utamanya pria berbaju kokoh dengan
perilaku bak “Nabi”, dan melihat sebuah permasalahan dengan hitam-putih. Ternyata dugaan saya sekali meleset. Tidak ada hakim-menghakimi dalam film yang diangkat dari novel karya Wahyu Suljani ini (yang belum saya baca). Saya benar-benar menyaksikan realita kehidupan.
Tokoh utamanya Fikri (Reza Rahadian),
tinggal di sebuah desa di kawasan pantai Garut, Jawa Barat, digambarkan
rambutnya gondrong, bajunya seperti orang kebanyakan, dan dia seorang
seniman melukis pasir. Sejak awal ayahnya (Joshua Pendelaki) tidak setuju Fikri melanjutkan kuliah sekaligus menjadi seniman, tetapi ingin menjadi marbot masjid. Sementara
adiknya Humairo (Tamara Tyasmara) ingin bekerja di kota Bandung tetapi
kantor yang dilamarnya memintanya melepaskan jilbab.
Singkat cerita dua-duanya nekad ke Bandung.
Fikri berhasil menjadi seorang pelukis berkat bantuan Koh Acong (Didi
Petet) pemilik sebuah galeri yang tinggal bersama putrinya Lidya (Renata
Kusmanto). Fikri melanjutkan kuliahnya dan mendapatkan kenyataan, kawan
seangkatannya Leni (Aulia Sarah) sudah menjadi asisten dosen. Bisa
ditebak Fikri dan Leni saling jatuh cinta. Sayangnya Leni sudah dijodohkan oleh ayahnya dengan pria pilihannya. Saya suka tokoh Fikri dengan tegas menolak kawin lari dengan Leni. Fikri ikhlas menikah dengan pria lain. Dia memilih berpisah walaupun hal ini menyedihkan baginya. Suatu sikap yang tidak mudah.
Cerita berkembang dengan munculnya tokoh Irul (Ibnu Jamil) playboy kampus, kawan Fikri. Dalam sebuah adegan dieprlihatkan irul habis didamprat dua perempuan di sebuah kafe (adegan yang sebetulnya klise). Nah, Irul ini mendekati Lidya, tentu saja dengan memanfaatkan akses sebagai teman Fikri. Persoalannya
hubungan keduanya terlalu jauh hingga Lidya hamil dan Irul tidak mau
bertanggungjawab. Tokoh pria tak bertanggungjawab dan menggampangkan
perempuan ini selalu ada di setiap zaman dan hampir selalu “menang”
karena sistem sosial yang patriarki (serta menenangkan orang yang kaya) cenderung mendukung eksistensinya.
Tentu saja Fikri merasa harus
bertanggungjawab, apalagi Koh Acong meninggal karena mengetahui anaknya
hamil. Apa yang dilakukan Fikri? Mendamprat irul? Tentu dia mendatangi
dan dia tahu Irul bersembunyi, tetapi dia bukan “pahlawan remaja” ala film Indonesia 1970-an langsung pukul memukul. Fikri
hanya bilang pada pembantu rumah tangga anak orang kaya itu: Bilang
pada Irul, saya mencarinya. Sebaliknya dia yang melindungi Lidya. Aplaus
sekali lagi buat Fikri.
Di sisi lain Humairo adiknya melepas jilbab untuk bisa bekerja di sebuah hotel. Bagi saya persoalan jilbab ini lebih serius, karena realitasnya ada di tengah masyarakat. Masa jilbab dianggap sebagai penghalang seorang karyawati bisa bekerja? Tentu saja Fikri terpukul melihat adiknya bersikap demikian. Tetapi dia bersikap arif dan tidak menghakimi. Sekali lagi Fikri digambarkan tidak hitam putih memandang kehidupan. Apalagi kemudian kedua orangtua mereka meninggal dalam kecelakaan.
Di bagian lain Leni tidak bahagia dengan rumah tangganya. Dia selalu menolak berhubungan badan dengan Andi. Saya
justru memberikan aplaus pada Andi yang masih bersabar karena dia
mencintai Leni. Dia pun menolak permintaan Leni untuk bercerai dan sampai kapan pun menunggu Leni sampai mau pada dia. Jarang ada laki-laki yang mampu bersikap seperti ini. Sebaliknya Fikri menanggapi keinginan Leni bercerai dengan bijak. “ Kamu ada di masa lalu!”
Di tengah dilemanya soal cinta dan karirnya
sebagai seniman yang melejit, muncul Shira (Enzy Storia) seorang
pengagum lukisan Fikri. Tentunya arah film ini kepada siapa cinta Fikri
berlabuh dan sekaligus jawaban atas ujian-ujian pada Fikri menandakan
Tuhan sedang jatuh cinta.
Tokoh-tokoh perempuan dalam film ini mempunyai sikap berbeda terhadap kehidupan. Shira
menurut saya perempuan modern, terdidik, mandiri dan bisa menentukan
sendiri dengan siapa dia menikah. Hal ini bertolak belakang dengan Leni.
Dia bisa memberontak dengan caranya , tetapi tidak bisa melawan sistem. Sementara Lidya adalah perempuan yang hanya bisa pasrah terhadap nasibnya. Dia seorang perempuan yang peduli terhadap orang terdekatnya (seperti ayahnya dan Fikri), namun sebetulnya rapuh.
Untuk jajaran akting, Reza Rahardian bermain memukau sebagai Fikri. Sekali lagi dia menunjukkan kepiawaian di dunai seni peran. Saya
memberikan apresisasi pada Enzy Storia yang keluar dari kharakter ABG
Ababil menjadi perempuan dewasa, yang saya sendiri terpukau pada
perilakunya yang smart dan dewasa. Lainnya
ialah pendatang baru Tamara Tyasmara sebagai gadis desa yang
bersemangat menjadi pekerja keras di kota. Dia harus memilih tunduk pada
tata nilai keluarganya, tunduk pada realitas atau kompromi alias
“bermain di dua perahu”.
Setting sosial tepat. Saya merasakan ketika menonton film ini masyarakat Jawa Barat kontemporer (dalam hal ini Priangan Selatan) yang sedang gelisah. Di satu sisi nilai-nilai religi yang mereka anut ketat berhadapan dengan kenyataan bahwa nilai-nilai western sudah merasuk jauh ke pedalaman. Film ini digarap dengan apik untuk setting sosialnya pemandangan ikan asin yang dijemur dan panorama pantai, amboi indahnya. Bahasa Sunda paar penuturnya terdengar fasih dan tidak kaku.
Film ini seperti halnya 99 Cahaya di Langit Eropa dan Ketika Cinta Bertasbih mempunyai sekuelnya. Saya menantikan pada bagian kedua apakah tokoh Fikri ini konsisten atau tidak pada sikapnya?
Penulis : Irvan Sjafari
Judul Film : Ketika Tuhan Jatuh Cinta
Sutradara : Frasiska Fiorella
Bintang : Reza Rahadian, Aulia Sarah, Renata Kusmanto, Enzy Storia, Ibnu Jamil, Tamara Tyasmara, Didi Petet
S1288POKER Memberikan Promo Double Freechip
BalasHapusBagi Kalian semua yang ingin bergabung dan masih banyak Promo menarik lainnya
Minimal Deposit Rp.10.000,- & Wihtdraw Rp.20.000,-
Info Lebih Lanjut Bisa Hub kami Di :
BBM : 7AC8D76B
WA : 087782869981