Perdebatan Antara Rukyatul Hilal dan Hisab- Penetapan awal dan akhir Ramadan selalu akan beriringan, setidaknya
di negara kita, dengan perdebatan soal standar yang digunakan untuk
menetapkannya. Dalam hal ini ada dua perkara yang selalu ‘diadu’
kekuatannya, yaitu metode ‘rukyatul hilal (melihat hilal, bulan tsabit
yang muncul pada awal bulan sebagai pertanda awal masuknya bulan
hijriah) versus metode hisab (penetapan berdasarkan perhitungan ilmu
astronomi). Hasilnya adalah ‘tidak ada yang kalah dan tidak ada yang
menang’. Akibatnya, setiap tahun kita akan selalu melihat penetapan yang
berbeda dan pada gilirannya, mau tidak mau, masyarakat dibuat bingung
olehnya.
Tulisan ini tidak bermaksud mengurai satu persatu
argumentasi dari kedua metode yang digunakan dan menguatkan salah satu
di antara keduanya. Karena masing-masing memang memiliki landasan dan
logika, bahkan pengikut dan pendukungnya tersendiri. Terlebih saya tidak
memiliki kapasitas yang mumpuni, baik secara teoritis apalagi secara
praktis, dalam kedua metode tersebut. Tapi, jika boleh saya simpulkan,
‘perdebatan sengit’ di antara kedua pendukung metode ini terletak pada hadaf (tujuan) dan wasa’il (sarana), antara tsawabit (perkara baku yang tidak berubah-ubah) dan mutaghayyiraat (perkara yang dapat berubah-ubah sesuai tuntutan zaman).
Pendukung
rukyatul hilal, dengan sejumlah hadits yang ada menjadikan masalah
rukyat (melihat) sebagai ketentuan baku. Boleh dibilang dia sebagai
‘ibadah’ yang tidak dapat dialihkan kepada pendekatan lainnya. Sebab
dalil-dalil yang ada menunjukkan bahwa awal dan akhir Ramadan hendaknya
ditetapkan berdasarkan ‘terlihatnya (rukyat) hilal’, bukan ‘adanya
(wujud) hilal’.
Misalnya dalam hadits yang terkenal, ‘Puasalah kalian
apabila hilal terlihat”. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam tidak
mengatakan, “Puasalah kalian apabila hilal muncul atau ada.” Jadi,
‘melihat’ (rukyat) menjadi acuan baku, bukan salah satu sarana yang
terkait dengan kondisi masyarakat ketika itu.
Buktinya adalah, apabila
terhalang dalam melihat hilal, apakah karena mendung atau lainnya,
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam mengarahkan agar kita
menyempurnakan bilangan Sya’ban menjadi 30 hari. Padahal bisa jadi,
ketika itu hilal muncul, hanya saja dia tidak terlihat. Maka, karena
tidak terlihat, apapun alasannya, awal Ramadan tidak dapat ditetapkan
ketika itu.
Argumen mereka diperkuat dengan kenyataan bahwa ilmu falak
yang menjadi dasar penetapan awal Ramadan berdasarkan hisab sudah
dikenal ketika syariat ini diturunkan. Namun tetap saja masalah hisab
tidak dijadikan acuan dalam perkara ini.
Sementara pendukung hisab
melihat permasalahannya secara substansial. Intinya adalah bagaimana
kedatangan bulan Ramadan dapat diketahui, apakah dengan rukyatul hilal
atau dengan hisab. Jika munculnya hilal dijadikan sebagai patokan dalam
menentukan awal bulan hijriah, maka, menurut versi ini, yang paling
penting adalah mengetahui ‘kemunculannya’.
Apakah dengan melihat
langsung atau melalui pendekatan ilmiah dengan rumus-rumus yang dikenal
dalam ilmu astronomi. Bagi mereka, ini hanya masalah cara atau sarana
saja untuk mengetahui kedatangan Ramadan. Yang mana yang paling mungkin
dan lebih valid, sesuai dengan waktu dan kondisinya serta kemampuan
masyarakat, maka hendaknya itu yang lebih utama digunakan. Untuk masa
sekarang, berpatokan dengan standar hisab, tampak lebih mudah dan lebih
valid dibanding rukyatul hilal. Apalagi perkembangan ilmu astronomi
sudah maju sedemikian rupa, sehingga faktor kekeliruannya semakin dapat
diminimalisir sekecil mungkin.
Di samping, mereka juga melihat bahwa
celah untuk menggunakan hisab dapat ditangkap dari sabda Rasulullah
shallallahu alaihi wa sallam saat berbicara dalam masalah ini, yaitu
bahwa (saat itu) kaumnya merupakan kaum ummy; Tidak dapat membaca dan
menghitung (HR. Abu Daud, dll). Di samping, mereka juga berlandasan
dengan salah satu riwayat yang Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam
bahwa apabila hilal terhalang untuk dilihat maka beliau berkata,
(فاقدروا له) hal ini dipahami oleh mereka sebagai perintah untuk merujuk
kepada ‘perhitungan perjalanan bulan’ alias hisab. Kesimpulannya, saat
itu, rukyatul hilal adalah metode yang paling mudah dan memungkinkan
tingkat kemajuan dan kemampuan masyarakat ketika itu. Adapun sekarang,
maka hisablah yang seharusnya dijadikan acuan. Karena zaman sudah maju
dan komunikasi sudah canggih.
Mekanisme Seharusnya
Tentu
saja perdebatan dan alasan-alasan yang disampaikan lebih dalam dan
lebih beragam dan dalam dibanding kesimpulan yang saya berikan di atas.
Hanya saja, permasalahan ini bukan sekedar adu argumentasi untuk
mempertahankan pendapat mana yang paling kuat.
Sedalam apapun
kajian tentang hal ini, semestinya ada perkara lain yang tidak dapat
kita abaikan, yaitu soal mekanisme dan interaksi dengan perbedaan
pendapat, khususnya terkait dengan upaya menjaga keutuhan umat. Sebab,
masalah seperti ini bukan masalah yang terkait dengan keyakinan pribadi
dan berdampak pribadi semata, tapi masalah yang dampaknya mencakup
ketenangan dan keutuhan masyarakat muslim. Kalau boleh saya pinjam
istilah yang sempat populer, perkara ini memiliki ‘dampak sistemik’ di
tengah masyarakat. Dia tidak seperti perbedaan pendapat ‘apakah
menyentuh wanita membatalkan wudhu atau tidak’ atau ‘apakah menyentuh
mushaf Al-Quran harus berwudhu atau tidak’, yang memiliki ‘tingkat
radiasi’ terbatas.
Terkait dengan mekanisme penetapan awal dan
akhir Ramadan, jika kita merujuk kepada beberapa riwayat yang ada, akan
tampak bagaimana proses penetapan awal Ramadan itu ditentukan.
Sebagaimana, di antaranya, disebutkan dalam hadits Ibnu Umar yang
diriwayatkan oleh Abu Daud dan lainnya dengan sanad yang shahih, bahwa
orang-orang berusaha melihat hilal, lalu Ibnu Umar memberitahu
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bahwa dia telah melihat hilal,
maka Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam memerintahkan agar kaum
muslimin berpuasa. Kemudian dalam hadits Ibnu Abbas, juga diriwayatkan
oleh Abu Daud dan yang lainnya, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam
menerima laporan seorang badui yang mengaku melihat hilal, setelah
dipastikan keislamannya, maka Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam
memerintahkan Bilal untuk mengumumkan agar kaum muslimin mulai berpuasa
esok.
Setidaknya, dari riwayat tersebut ada empat proses tahapan
yang hendaknya dilalui untuk menetapkan awal dan akhir Ramadan. Pertama
adalah partisipasi aktif berbagai elemen masyarakat untuk ikut
berkontribusi dan memantau penetapan awal Ramadan. Kedua adalah melapor
kepada penguasa atau pemerintah apabila sudah melihat hilal (atau telah
memiliki kesimpulan tentang awal Ramadan). Ketiga pihak pemerintah
melakukan proses pengecekan tentang kebenaran informasi yang sampai
kepada mereka. Terakhir, keempat, pemerintah bertugas mengumumkan kepada
masyarakat tentang awal Ramadan.
Jadi semestinya, meskipun
masyarakat punya hak untuk memantau dan mengontrol proses penetapan awal
Ramadan, bukan berarti mereka dapat semaunya mengumumkan hasil
kesimpulan mereka sebelum ada ketetapan resmi pihak berwenang.
Sebagaimana Ibnu Umar, setelah melihat hilal, dia tidak langsung
mengumumkan kepada masyarakat, tetapi dia melapor dahulu kepada
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam selaku pemimpin kala itu,
kemudian beliau memerintahkan untuk mengumumkan awal Ramadan. Dengan
begini, maka alur informasi akan jelas dan memiliki tingkat kepercayaan
yang tinggi di masyarakat serta menutup kemungkinan silang pendapat dan
informasi yang berbeda-beda.
Masyarakat boleh saja memiliki
pandangan yang berbeda-beda tentang awal Ramadan, namun hak untuk
menetapkan dan mengumumkan awal Ramadan berada di pihak yang berwenang
dan berkuasa, apalagi jika pihak yang berwenang telah berupaya agar
penetapan awal Ramadan memenuhi kaidah-kaidah syar’i. Jika ada pihak
yang tetap meyakini kesimpulannya berbeda dengan apa yang ditetapkan
pemerintah, dia boleh berpuasa sesuai keyakinannya, namun tidak boleh
mengumumkan dan mengajak masyarakat berpuasa berbeda dari keputusan
pemerintah!
Perbedaan Pendapat dan Kerukunan Masyarakat Muslim
Di
sisi lain, perkara ini termasuk ujian bagi kita bagaimana berinteraksi
dengan perbedaan pendapat dan kaitannya dalam menjaga kerukunan
masyarakat. Para ulama umumnya mengatakan bahwa jika perbedaan pendapat
hasil dari sebuah ijtihad yang memiliki standar ilmiah memadai dalam
sudut pandang fiqih Islam, atau dalam istilah fiqih disebut sebagai Al-Masa’il Al-Ijtihadiah As-Saa’igah,
maka seseorang dibolehkan mengikuti pendapat lain yang berbeda dengan
pendapatnya, walaupun dia menganggap pendapat tersebut lemah, dengan
harapan sikap tersebut dapat menghindarinya dari perpecahan dan
pertikaian di tengah masyarakat.
Ketika Utsman bin Affan
radhiallahu anhu (berdasarkan pandangan ijtihadnya) melakukan shalat di
Mina sebanyak empat rakaat (pada shalat yang empat rakaat) Ibnu Masud
mengingatkan bahwa dia pernah shalat di belakang Rasulullah shallallahu
alaihi wa sallam, Abu Bakar dan Umar bin Khattab radhiallahu anhum di
Mina sebanyak dua rakaat (shalat empat rakaat di qashar menjadi dua
rakaat). Namun ketika suatu saat di Mina beliau shalat di belakang
Utsman yang melakukan shalat empat rakaat, beliau mengikutinya shalat
empat rakaat. Ketika ditanya tentang sikapnya, beliau mengatakan,
“Perselisihan itu buruk.” (HR. Abu Daud).
Kitab Ar-Raudhul Murbi
adalah salah satu kitab fiqih rujukan dalam Mazhab Hambali. Sebagaimana
diketahui bahwa Mazhab Hambali tidak memandang disyariatkannya qunut
secara khusus pada Shalat Subuh. Namun pengarang kitab ini, Al-Bahuti,
mengatakan, apabila seorang makmum ikut shalat dengan imam yang qunut
dalam shalat Fajar, hendaknya dia mengikutinya dan mengaminkannya.
(Ar-Raudhul Murbi, 1/220)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
rahimahullah, menguatkan pendapat, berdasarkan sejumlah dalil, bahwa
bacaan basmalah pada shalat jahriah tidak dikeraskan, namun berikutnya
beliau berkomentar, “Meskipun demikian, apa yang seharusnya tidak
dikeraskan bacaannya, bisa jadi disyariatkan untuk dikeraskan bacaannya
jika ada kemaslahatan yang kuat. Seorang imam, kadang-kadang,
disyariatkan mengeraskannya untuk mengajarkan para makmum, bagi jamaah
shalat boleh saja kadang-kadang mengeraskan sedikit bacaannya, boleh
juga seseorang meninggalkan sesuatu yang lebih utama untuk merekatkan
hati dan mewujudkan persatuan serta menghindari penolakan yang tidak
layak.
Sebagaimana Nabi shallallahu alaihi wa sallam urung membangun
Ka’bah berdasarkan pondasi Nabi Ibrahim, karena bangsa Quraisy ketika
itu baru saja meninggalkan masa jahiliyahnya, beliau khawatir terjadi
penolakan di kalangan mereka. Maka, beliau memandang bahwa maslahat
kerukunan dan kesatuan hati lebih diutamakan ketimbang maslahat
membangun Ka’bah berdasarkan pondasi Nabi Ibrahim…..” (Majmu Fatawa,
22/436-437)
Beliau rahimahullah juga berkata, “Meninggalkan
perkara yang lebih utama menurutnya adalah boleh agar tidak menimbulkan
penolakan masyarakat. Demikian pula jika seseorang berpendapat bahwa
bacaan basmalah dikeraskan, lalu dia menjadi imam di masyarakat yang
tidak menganggapnya sunah, atau sebaliknya, lalu dia shalat sesuai
dengan pendapat mereka, maka dia telah bersikap baik.”
(Majmu Fatawa, 22/268-269)
(Majmu Fatawa, 22/268-269)
Prosedur Penetapan Resmi Di Negara Kita
Jika
kita perhatikan kasus yang terjadi di negara kita, Departemen Agama
yang dalam hal ini diberi wewenang secara formal untuk menetapkan dan
mengumumkan awal dan akhir Ramadan, telah berupaya melakukan proses
penetapan dengan upaya maksimal agar terpenuhi standar syar’i serta
tidak mengabaikan kemajuan teknologi sebagai penopangnya, bahkan mereka
juga telah menyertakan berbagai elemen dan ormas Islam di masyarakat.
Yang saya nilai, Depag telah melalui mekanisme yang terkandung dalam
hadits Nabi di atas.
Mereka menyebutnya sebagai metode rukyat dan
hisab sekaligus. Maksudnya adalah bahwa mereka menggunakan standar
perhitungan hisab untuk dapat melihat hilal. Jika berdasarkan hisab,
hilal sudah berada di atas ufuk dan dapat dilihat, maka dilakukan upaya
rukyat untuk memastikan apakah dia terlihat atau tidak. Jika terlihat
(rukyat) lalu diproses kebenarannya dan kemudian diterima, maka
dipastikan bahwa esok hari adalah awal Ramadan. Jika tidak, atau ada
yang mengaku melihat namun tidak dapat diterima persaksiannya karena
satu dan lain sebab, maka ditetapkan bahwa bilangan Sya’ban digenapkan
tiga puluh hari, dan Ramadan jatuh pada hari lusanya.
Katakanlah
pedoman Depag yang lebih condong kepada rukyatul hilal ini termasuk
pendapat yang lemah. Namun setidaknya dia merupakan perkara ijtihad para
ulama yang masih diakui memiliki standar ilmiah syar’i yang masih layak
diikuti. Maka jika hal ini yang lebih mendatangkan keutuhan dan
kebersamaan di tengah masyarakat, sebaiknya pihak-pihak yang
menganggapnya lemah, dapat berlapang dada untuk tidak memaksakan
pendapatnya dan menerima pendapat lain selagi di sana lebih mendatangkan
kemaslahatan bersama. Apalagi jika ternyata pandangan ini (rukyatul
hilal) justru merupakan pandangan yang dikuatkan jumhur ulama. Sejak
sekian ribu tahun lamanya hingga kini, rukyatul hilal, baik secara
teoritis maupun secara praktis, telah dipegang dan dipraktekkan oleh
kaum muslimin di seluruh penjuru dunia. Bahkan berbagai lembaga fatwa
kontemporer sekalipun masih menjadikan perkara ini sebagai pedoman utama
dalam menetapkan awal dan akhir Ramadan dengan berbagai macam
argumentasi. Maka jika kemudian pedoman ini dijadikan sebagai pedoman
resmi untuk menetapkan secara resmi oleh pihak yang resmi, yaitu
penguasa, semestinya dia merupakan sesuatu yang sangat amat layak
diikuti, walaupun oleh pihak yang menganggapnya lemah. Dan seharusnya
tidak ada yang mengumumkan dan menetapkan secara terbuka yang berbeda
dengan keputusan resmi!!
Para ulama juga sebenarnya telah
menetapkan kaidah bahwa “Keputusan hakim (penguasa) dapat menyelesaikan
perselisihan pendapat yang ada.”
Dengan menyertakan kedua aspek
ini (mekanisme dan cara pandang kita menyikapi perbedaan ijtihad terkait
dengan keutuhan umat), penyatuan persepsi terkait penetapan awal dan
akhir Ramadan akan lebih besar harapan untuk terwujud. Adapun kalau
pedomannya hanya sebatas mana yang paling kuat argumentasinya,
masing-masing pihak tentu merasa paling kuat argumentasinya.
Hal
ini bukan berarti kita tidak setuju diskusi tentang masalah ini terus
dilanjutkan, biarlah dia menjadi bagian dari dinamika dan diskursus
ilmiah yang memang didorong dan diberikan ruang dalam Islam, selagi
dilakukan semangat mencari kebenaran berdasarkan dalil dan pemahamannya.
Bahkan secara pribadi, walaupun hingga kini penulis masih condong
dengan standar rukyatul hilal, namun penulis cukup respek terhadap
argumentasi mereka yang hendak menjadikan hisab sebagai acuan penetapan
awal dan akhir bulan.
Namun hendaknya masalahnya dibedakan antara
perdebatan ilmiah dengan wewenang dalam memberikan keputusan, agar
jangan sampai membuat suasana kehidupan beragama tidak kondusif. Toh,
kalau memang pandangannya benar-benar kuat dan memiliki standar ilmiah
yang cukup, lambat laun akan ada penerimaan terhadap sebuah pandangan
seperti itu. Tidak sedikit pandangan fiqih yang pada awalnya tidak
terlalu diapresiasi bahkan ditolak, lambat laut dapat diterima setelah
perbincangan dan diskusi panjang seputar masalah tersebut.
Sepanjang
yang saya tahu, para ulama masa kini yang mengusung pendekatan hisab
seperti DR. Yusuf Qaradhawi di Qatar, DR. Abdullah bin Sulaiman Al-Mani’
di Saudi, atau sebelumnya, pakar hadits, Syekh Ahmad Syakir, hanya
membatasi pendapatnya dalam diskusi ilmiah. Apabila Ramadan tiba, mereka
tidak sampai mengumumkan secara sepihak keputusan penetapan awal
Ramadan berdasarkan pandangan hisab menurut pendapat yang mereka ambil
di luar keputusan resmi pemerintah.
Ketegasan Pemerintah
Selain
itu, dalam hal ini memang dibutuhkan ketegasan pihak berwenang untuk
melarang keras pihak manapun mengumumkan penetapan awal Ramadan di luar
keputusan resmi pemerintah. Hal ini yang berlaku di banyak negeri Islam.
Sehingga dengan begitu, dapat diharapkan suasana kondusif akan terwujud
dan masyarakat dapat mengawali Ramadan dengan tenang dan hati yang
khusyu, tidak terombang ambing oleh berbagai info dan opini yang sedikit
banyak dapat mempengaruhi suasana hati di bulan yang justru kita sedang
sangat dianjurkan untuk membersihkan dan menata hati, baik kepada Sang
Khaliq ataupun kepada sesama makhluk.
Dalam kapasitasnya,
pemerintah tidak cukup menyikapi masalah ini dengan ungkapan yang
sepintas manis dan menangkan, seperti ungkapan ‘masing-masing pihak agar
menghormati pihak lain yang berbeda.’ Atau ‘kita sudah terlatih
menghadapi perbedaan’, dan semacamnya. Ungkapan seperti itu layak bagi
rakyat yang tidak berdaya apa-apa menghadapi kondisi seperti ini, adapun
bagi pemerintah yang berwenang dan memiliki kapasitas untuk mengatur,
ungkapan semacam itu lebih tepat disebut sebagai tameng untuk berlindung
dari kelemahan menyelesaikan problem yang satu ini.
Wallahua’lam.
S1288POKER Memberikan Promo Double Freechip
BalasHapusBagi Kalian semua yang ingin bergabung dan masih banyak Promo menarik lainnya
Minimal Deposit Rp.10.000,- & Wihtdraw Rp.20.000,-
Info Lebih Lanjut Bisa Hub kami Di :
BBM : 7AC8D76B
WA : 087782869981