Sejarah Raja Eyato dan Raja Biya Gorontalo- Saya repost kembali dari blog sahabat Icky, yg telah berbagi tentang sejarah ini. Saya pun baru mengenal raja eyato ini ketika ada pementasan tari se provinsi Gorontalo. Wah, penmpilan mereka cukup membuka mata saya, betapa Gorontalo memiliki sejarah dan cerita daerah yang beragam. Pada saat sinopsis dari sebuah tari di bacakan, saya pun tertarik dengan tari yang dilatarbelakangi dari sejarah Eyato itu sendiri. Setelah dari pementasan pun saya langsung membuka beranda Ustad google, dari search all about raja Eyato. Treek Muncullah sejarahnya. Dari sekian Blogger Gorontalo, hanya satu-satu sumber saya temukan di blog taufik Polapa. Terima kasih ya atas sharing sejarahnya.
Sahabat pemerhati Budaya, berikut sejarah dari Raja Eyato. Semoga repost artikel ini bisa membantu dan menembah khasan pengetahuan daerah.
Dalam
sejarah perjuangan rakyat didaerah Gorontalo yang disusun oleh Yayasan
23 Januari 1942 bekerjasama dengan IKIP Negeri Manado cabang Gorontalo
tanggal 10 Januari 1981 dan diterbitkan oleh PT. Gobel Darma Nusantara.
Hal ini sangatlah besar manfaatnya untuk generasi kita sekarang pada
umumnya dan khususnya bagi rakyat Gorontalo, karena dengan
diterbitkannya buku sejarah perjuangan rakyat Gorontalo ini, dapatlah
kita mengetahui sepak terjang nenek moyang kita zaman dahulu,
terutama
dalam menentang penjajahan Belanda zaman dahulu.
Dalam
sekian banyaknya perlawanan rakyat Gorontalo pada waktu itu, kita dapat
ungkapkan kembali perlawanan Raja Biya (Raja Selatan: Raja To
Huliyaliyo) yang memerintah Kerajaan Gorontalo menurut buku sejarah
tersebut yang memerintah dari tahun 1677 s/d 1690. Pada zaman Raja Eyato
di utara (Raja Totiloyo) yang memerintah tahun 1673 s/d 1679, maka di
selatan mengalami pergantian dari dari Raja Tiduhulu (Raja Perempuan)
kepada penggantinya Raja Biya (sesuai ejaan tulisan huruf Arab Pegon)
yang memerintah tahun 1677 s/d 1690 (Kerajaan Gorontalo diperintah oleh 2
orang Raja yaitu Raja Lotilayo di utara dan Raja Lo Huoliyaliyo di
Selatan).
Pada
waktu itu Raja Eyato diutara dan Raja Biya di selatan bahu membahu
melawan Belanda. Pada tahun 1677 perlawanan Eyato yang ke II (perlawanan
I tahun 1674)-perlawanan Raja Eyato yang menghalang-halangi utusan
Belanda ke Gorontalo dan Dumoga sehingga akhirnya utusan kompeni Belanda
kembali ke pangkalan VOC di Ternate dan melaporkan hasil peninjauan
mereka di Gorontalo sbb:
1. Utusan takut menghadapi serangan-serangan yang dilakukan oleh rakyat Gorontalo.
2. Rakyat menghalang-halangi pelayaran ke Dumoga.
3. Rakyat membakar dan melarikan perahu-perahu mereka yang berada di pantai.
4. akyat tidak mengizinkan awak kapal mereka turun ke darat untuk mengambil air minum.
5. Rakyat telah membuat kubu pertahanan yang kuat di pinggiran sungai Bone.
6. Rakyat mengancam akan membunuh mereka.
Dari
laporan tersebut kompeni Belanda menyimpulkan bahwa rakyat Gorontalo
tidak mau dijajah oleh Belanda. Raja Eyato selalu menolak dan bersikap
acuh tak acuh terhadap kaum kompeni, maka kompeni Belanda merubah
siasatnya. Diajaklah Raja Eyato berunding di atas kapal kompeni yang
sedang berlabuh dimuara sungai Bone. Dalam perundingan itu Raja Eyato
menolak semua permintaan kompeni Belanda. Pada saat itu terjadilah
penangkapan atas diri Raja Eyato (1679). Selanjutnya beliau dibawa ke
Ternate yang merupakan pangkalan kompeni Belanda. Kemudian Raja Eyato
diasingkan ke Ceylon sampai wafatnya dan diberi gelar Ta To Celongi yang
artinya yang di Ceylonkan.
Adapun secara singkat menurut dokumen yang bertuliskan huruf Arab Pegan, bahwa silsilah Raja Eyato adalah sebagai berikut:
Raja
Biya memerintah kerajaan Gorontalo di selatan bersama-sama Raja Eyato
di utara dan melawan kompeni Belanda bersama-sama pula. Pada waktu Raja
Eyato di asingkan ke Ceylon maka perlawanan kepada Belanda diteruskan
oleh Raja Biya. Pada tahun 1678, Raja Biya dipanggil oleh Belanda ke
Ternate dan diberi ultimatum oleh Gubernur R. Padtbrudgge yaitu diajukan
empat hal yang harus diterima oleh Raja Biya:
a. Raja Biya harus mengakui kekuasaan kompeni di Gorontalo.
b. Rakyat bersama kompeni akan mengusir Spanyol yang masih bercokol di Sangir Talaud.
c. Rakyat harus tunduk kepada agama yang ditawarkan oleh kompeni.
d. Raja Biya harus mengikuti dan menganut agama bangsa penjajah.
Sebagai
siasat perjuangan, Raja Biya menerima apa yang diajukan oleh Gubernur
Belanda itu. Namun setelah kembali ke Gorontalo, Biya berusaha
memperkuat kerajaannya dengan suatu kubu pertahanan pada jalan yang
dilalui oleh kompeni menuju Dumoge. Kubu tersebut dikenal dengan nama
Kubu Padang (Padengo) dipinggir Sungai Bone, desa Podengo, Kec. Kabila
sekarang yang berjarak + 10 km dari pusat Kerajaan. Tindakan Raja
Biya ini berarti melawan amanat Gubernur Belanda, maka pada tahun 1681
Gubernur datang sendiri beserta puluhan serdadu kompeni lengkap dengan
persenjataan dengan kapal perang pada waktu itu dan berlabuh di muara
sungai Bone.
Gubernur
mengirim utusan kedarat menuju Kubu Pertahanan Padengo. Para utusan
Gubernur yang menumpang sekoci turun dipinggir Sungai, dekat dengan kubu
Padengo. Mereka bertemu dengan pasukan rakyat yang dipimpin oleh
Kapitan Laut (Apitalau), sebagai penguasa laut yang sedang mengawasi
kubu pertahanan itu. Para utusan Belanda itu menyampaikan amanat
Gubernur:
1. Bahwa Gubernur mengirim hormat untuk kedua Raja Limboto dan Gorontalo.
2. Agar kedua Raja tersebut berkunjung ke kubu untuk bertemu dengan Gubernur.
3. Kubu tersebut harus dikosongkan untuk dijadikan tempat perundingan.
4. Selama perundingan berjalan penduduk tidak diperkenankan berada diantar kubu Padengo dan Dumoga.
5. Bila Pemerintah Kerajaan Gorontalo bersedia damai dengan kompeni maka tidak akan timbul perang.
6. Bila
tidak ada kesediaan untuk berdamai, maka kompeni beserta seluruh
sekutunya akan menghancurkan kubu pertahanan dengan kekuatan senjata.
Kapitan Laut (Apitalau) yang
sedang mengawasi serta memperkuat kubu tersebut tidak menerima semua
tawaran yang disampaikan oleh para utusan tersebut. Dan utusan Gubernur
Belanda kembali ke kapal menemui Gubernur tanpa membawa hasil yang
diharapkan.
Untuk
keduakalinya Gubernur mengirim utusan kedarat, langsung menghadap Raja
Biya dengan amanat agar Raja Biya mengirim utusan ke kapal. Hal itu
dituruti Raja Biya dan dikirimlah beberapa orang pembesar istana
menghadap Gubernur di kapal. Gubernur menyampaikan amanat dihadapan para
utusan istana, bahwa sebelum Gubernur turun kedarat, Raja Biya sudah
harus diatas kapal. Karena Raja Biya yang ditunggu tak kunjung datang,
maka turunlah Gubernur dengan menaiki sekoci dan didampingi empat puluh
serdadu bersenjata menuju ke kubu Padengo. Namun sebelum Padtbrudgge
mendarat, diperintahkan serdadunya mendarat dan bertemu dengan para
penghuni Kubu Padengo.
Tugas
serdadu itu untuk mengusir penghuninya keluar, apabila mereka
memperlihatkan sikap acuh tak acuh apalagi mau menyerang. Karena
Penghuni Kubu Podengo bersikap acuh tak acuh terhadap kedatangan serdadu
kompeni, maka terjadilah perang yang disebut Perang Kubu Padang
(Padengo). Apitalau beserta anggotanya dapat memukul mundur pasukan
kompeni, maka Padtbrudgge memerintahkan agar awak enam buah kapal Tomini
segera mendarat dan memberi bantuan, namun semua awak kapal itu takut dan ragu-ragu tidak berani untuk maju.
Serdadu
kompeni tidak mudah menghadapi perlawanan rakyat, beberapa orang
serdadu Belanda tewas dan yang lainnya melarikan diri. Namun Kapitan
Krijs De Ronde bertahan dengan 28 serdadu bertempur satu lawan satu.
Serdadu
kompeni tiga kali menyerang kubu Padang (Padengo) barulah berhasil
menguasainya. Pertahanan kubu Padang menjadi kuat karena perlawanan
disamping Pimpinan Perang Panglima Apitalau juga turut memimpin Raja
Biya, Jagugu Gorontalo dan Limboto Ilato dan Ishaeni. Pihak kompeni 4
orang tewas yang berpangkat Kapten dan Mayor dan yang lainnya luka-luka
berat.
Dipihak
Pasukan Kubu Padang 12 orang terhitung pembesar Kerajaan Limboto dan
Gorontalo gugur dimedan perang, yang lainnya luka-luka dan dan sisanya
lolos antara lain Raja Biya sendiri, Ilato, Ishaeni, dan Apitalau
sebagai Panglima Perang. Menurut sumber cerita bahwa Raja Biya lari
sampai bersembunyi dicelah-celah suatu tempat yang disebut Tutulo
(Tulo-tulomayi), karena waktu dicari Belanda , Raja Biya hanya mengintip
dari tempat persembunyiannya. Akhirnya sampai tahun 1690 Raja Biya dan
kawan-kawan diangkap Belanda dan dibuang ke Ceylon dan Ishaeni ke
Tanjung Harapan (Afika Selatan), sedang Apitalau dan Ilato tidak
diketahui keberadaannya.
Sebagai
ganti kerugian atas kematian serdadu Belanda, maka Kerajaan Limboto dan
Gorontalo diwajibkan oleh Belanda menyerahkan 150 orang budak, 150
belah kayu. Dan tiap Kerajaan hanya berhak memiliki seorang Raja dan
tidak boleh menggunakan titel Kapitan Laut/Raja Laut bagi yang menjabat
sebagai komandan keamanan lautan. Namun segala tuntutan atas ganti rugi
tersebut tidak ditaati oleh Kerajaan Gorontalo dan Limboto, buktinya
Kerajaan Gorontalo dan Limboto tetap menggunakan masing-masing 2 orang
Raja yaitu Raja di utara dan Raja di Selatan baik di Kerajaan Gorontalo
maupun Kerajaan Limboto.
Menurut
penuturan dari salah seorang keluarga Raja Biya, bahwa Raja Biya yang
melawan Belanda tersebut adalah juga Raja Biya yang pada saat itu juga
berkedudukna sebagai Raja Limboto. Hal ini juga dapat dilihat pada
urutan raja-raja Gorontalo dan Limboto yang dokumennya penulis dapatkan
di Mesjid Sultan Amay (Mesjid tertua di Gorontalo) yaitu kalau di
Gorontalo memerintah pada tahun 1672 ke atas adalah Raja Biya di utara
dan di Limboto di utara juga memerintah Raja Biya pada tahun 1673 ke
atas.
Hal
ini juga ditunjukkan oleh gelar Raja Biya dari Kerajaan Limboto
tersebut yang bergelar Dhayl’udiyn (kalau ditanyakan sama ahlinya
berarti yang mempertahankan agamanya) atau Tatoagamaliyo, sebagaimana
gelar Raja Biya yang terdapat pada naskah kuno yang ditulis dengan huruf
Arab Pegan. Naskah kuno tersebut ada penulis simpan. Jadi dapat diambil
kesimpulan bahwa Raja Biya Limboto adalah juga Raja Biya Gorontalo yang
berperang melawan Belanda pada tahun 1681 seperti tersebut di atas.
Dalam
naskah silsilah yang ditulis dengan huruf Arab Pegon tersebut, bahwa
Raja Biya Limboto yang bergelar Dhayl’udiyn tersebut kawin dengan putra
Delaliwuwo anak Marsaole Lupoyo dengan Putri Deylomputo, mendapat anak
putri Buwai’i. Putri Buwai’i bersuami Hakim Nunuki dan mendapat anak 2
yaitu Walaopulu Butolo dan Raja Limboto Pangeran Abdullah bergelar
Tatotinelo.
Dan
Raja Biya Limboto bergelar Dhayludiyn (Tatoagamaliyo) kawin pula dengan
Putri Apiyo anak dari Oyintu dan Tenihuwato (Tatobodiya), Tenihuwato
adalah anak dari Jagugu Lihawa (Tatolalango) dengan Putri Wadihulawa.
Turunan dari Raja Biya Limboto bergelar Dhayl’udiyn (Tatoagamaliyo) pada
saat sekarang ini sudah mencapai generasi ke 8-9. Gelar ini mungkin
diberikan pada sang Raja, karena beliau dan rakyatnya tidak menuruti
untuk mengikuti agama kompeni Belanda.
Demikianlah
semoga sejarah tantang kepahlawanan Raja Eyato dan Raja Biya ini, dan
masih banyak cerita perlawanan rakyat Gorontalo zaman dahulu, supaya
mengingatkan generasi muda khususnya generasi muda Gorontalo.
Sumber Penulisan:
- Buku Perjuangan Rakyat di daerah Gorontalo yang disusun Yayasan 23 Januari 1942 yang kerja sama dengan IKIP Manado cabang Gorontalo, Penerbit PT. Gobel Darma Nusantara.
- Naskah yang ditulis dengan huruf Arab Pegon tentang silsilah Raja-Raja U Duluo Lou Limo Lo Pohalaa.
- Narasumber keluarga dan orang-orang tua.
0 Response to "Sejarah Raja Eyato dan Raja Biya Gorontalo"
Posting Komentar
Silahkan Tinggalkan komentar anda, jika ada kesalahan pada artikel yang saya posting, atau ada link mati, gambar hilang, dan jika ada saran untuk kemajuan blog ini, silahkan tulis komentar dibawah ini.... Komentar kalian sangat berarti bagi saya...
Format untuk komentar:
1. Pilih profil sebagai Name/URL
2. Isikan nama anda
3. Isikan URL (Blog/Website/Facebook/Twitter/Email/Kosongin)
4. Isikan komentar
5. Poskan komentar